Abstract |
Tulisan ini mengungkap peran perempuan di wilayah konflik, yaitu di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Selama ini dalam suatu konflik perempuan hanya dianggap sebagai korban padahal upaya informal yang ditempuh oleh kaum perempuan banyak memberikan kontribusi positif pada proses terciptanya perdamaian, perannya sebagai penyintas, dan inisiator perdamaian terlupakan dan tidak pernah mendapatkan keadilan. Perempuan korban konflik di Aceh berharap terjadi pemenuhan hak korban melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi-Aceh (KKR-Aceh). Namun, usaha mereka gagal karena masih kuatnya pengaruh politik dalam penegakan hukum di Aceh. Selanjutnya, Perempuan Ahmadiyah yang mengalami kekerasan fisik, psikologis, dan ekonomi kurang mendapat perhatian dari pemerintah terkait dengan status kewarganegaraan mereka. Sesuai dengan CEDAW, Resolusi DK PBB No. 1325, dan Rekomendasi umum PBB No.19, pemenuhan keadilan dan hak-hak perempuan adalah tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. |